TANTANGAN SIGNIFIKAN PEREMPUAN DALAM ISU PENDIDIKAN

Negara kita telah menetapkan UU untuk melindungi perempuan dari kekerasan fisik. Namun apa pernah kita menelisik di sekitar kita, bahwa nyatanya kesetimpangan gender masih menjadi permasalahan yang sama sekali tidak ada ujung penyelesaiannya? Tentang para perempuan yang masih harus menerima kekerasan fisik dari suaminya, tentang perempuan yang harus rela dilecehkan di tempat kerja karena takut di  pecat dari pekerjaannya, tentang sebuah budaya yang mengharuskan perempuan mendorong pernikahan di usia dini. Dunia memang seolah tidak memiliki ambang batas lagi, ramai konten telah memperlihatkan periaku tidak pantas yang melibatkan perempuan. Ada problematika diskriminasi gender dan seksisme yang harus dipikul oleh para perempuan dan hal inilah yang akhirnya membuat mereka seperti dinomorduakan dalam dunia pendidikan. 


Di daerah saya sendiri, masih banyak sekali remaja wanita yang memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan karena kurangnya dukungan dari pihak keluarga, mereka justru lebih mendukung anak-anak mereka menjadi pengangguran atau menikah saja agar ada yang menafkahi. Saya pernah mendengarkan beberapa opini yang di giring oleh Gita Savitri, salah satu tokoh yang sangat saya idolakan dalam dunia pendidikan. Beliau berpendapat seperti ini “Fakta bahwa perempuan itu di masyarakat di kondisikan untuk menjadi ibu, di masyarakat kita parenthood atau memiliki anak, itu dilihat sebagai moral imperative, dilihatnya itu sebagai kewajiban sehingga tidak sedikit yang menganggap bahwa menjadi orang tua itu harus dilakukan untuk mencapai hidup yang full feelings.”

Opini beliau ini menimbulkan beberapa pro kontra dari sebagian pengikutnya di kanal youtube. Saya sebagai seorang perempuan menyuarakan tanda setuju dengan opini beliau, because i feel that to, sejak kecil saya sudah di doktrin oleh lingkungan bahwa perempuan yang utuh adalah perempuan yang setelah ia beranjak dewasa maka ia telah layak menjadi seorang istri, dan sangat diharapkan untuk segera menikah. Saya sedikit tidak mengerti dengan pandangan masyarakat ini, ekspektasi mereka mengenai ‘perempuan yang utuh’ membuat saya merasa tidak bisa merdeka sebagai perempuan. Menurut saya, sebagai manusia, sebagai makhuk individu, perempuan selalu berhak atas segala hal  yang ada pada diri mereka, itu mutlak. Setiap perempuan berhak untuk memutuskan apa yang terbaik untuk diri mereka di masa depan tanpa harus merasa tercekik dengan tuntutan yang ada di lingkungan, karena jika dilihat kembali secara tidak langsung kita sudah mengiyakan sistem patriarki atau perilaku memisahkan, membuat dinding, membuat kotak-kotak antara perempuan dan laki-laki, sebab hal tersebut adalah fitrah baginya sebagai perempuan. 


Lantas apa gunanya perjuangan RA Kartini, apalah arti kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1928 jika pada akhirnya di zaman sekarang yang sudah merdeka kita sebagai perempuan justru merasa kembali terjajah terutama dalam hal pendidikan. Saya sangat berharap kedepannya stereotip seperti itu di musnahkan oleh generasi penerus bangsa, kita harusnya tahu bahwa kesempatan perempuan untuk berkarya selalu terbuka lebar. Keinginan RA Kartini agar perempuan tidak selamanya di doktrin untuk berakhir menjadi ibu rumah tangga bahkan di usia yang masih belia yang mengakibatkan pendidikan perempuan tersebut akhirnya putus. Perempuan tidak selamanya mengurus rumah, perempuan modern bebas mengenyam pendidikan, bebas berkarya, megutarakan mimpinya, mewujudkan ide-ide kreatifnya, menciptakan peluang bagi orang-orang. Sebagai agent of change, sebagai perempuan modern ciptakan keberanian untuk melawan stereotip masyarakat, karena sejatinya perempuan selalu memiliki hak yang setara dengan laki-laki dalam mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. 

Komentar